GuidePedia

DPU DT BOGOR-Hampir setiap pelosok desa mau pun kota, orang-orang merayakan peringatan tahun baru. Baik tahun baru Hijriyah mau pun Masehi. Penghitungan tahun baru Hijriyah menurut salah satu versi sejarahnya, dimulai sejak Nabi Muhammad Hijrah dari Makkah ke Madinah. Sedangkan tahun Masehi dihitung sejak kelahiran Isa al-Masih.

Beragam motivasi masing-masing individu merayakan kedua tahun baru ini. Realita yang terjadi adalah momen tahun baru lebih cenderung ke arah hedonis dan hura-hura. Tidak hanya di kota-kota besar, di desa terpencil pun sudah mulai mengikuti tradisi tersebut. Kita sendiri mungkin belum tahu apakah makna yang tersirat dalam pergantian tahun ini. Pedahal, seyogyanya pergantian tahun adalah waktu untuk berintrospeksi.

Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata: "Haasibuu qabla an tuhaasabuu," (introspeksilah diri sebelum diintrospeksi orang lain). Nasihat ini pun mengingatkan kita dengan sebuah ungkapan, "Semut di ujung lautan terlihat jelas sedangkan gajah di pelupuk mata tak tampak." Seharusnya qoul (perkataan) Umar ini menjadi acuan kita. Jika nasihat bijak ini selalu mengiringi langkah setiap individu, niscaya tak akan pernah ada sifat takabur dalam diri manusia.

Menurut Ibnu Qayyim, ada dua makna yang harus dipahami dalam instrospeksi (muhaasabah). Pertama, mengoreksi diri sebelum melakukan perbuatan, yaitu muhasabah terhadap segala sesuatu yang terbersit dalam hati. Alangkah baiknya setiap aktivitas, renungkan sejenak apakah perbuatan itu mendatangkan maslahat (kebaikan) atau sebaliknya, mudharat (keburukan)? Apakah akan memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain atau sama sekali tidak bermakna (meaning less). Jika berada dalam keraguan, sebaiknya tinggalkan.

Kedua, mengoreksi diri setelah melakukan perbuatan. Ada sebuah perkataan bijak, "Lupakan semua kebaikan yang pernah dilakukan, dan ingat segala kesalahan yang pernah diperbuat." Karena siapa pun tidak tahu apakah kebaikan yang pernah dilakukan, diterima atau ditolak oleh Allah. Sebaliknya, keburukan yang pernah dilakukan senantiasa tersimpan di hadapan Allah. Maknanya, kita senantiasa melakukan serta meningkatkan kebaikan dalam segala hal. Selain itu juga untuk menutupi semua perbuatan dosa yang telah lampau.

Dalam kitab Arba'iin al-Nawawi, ada potongan hadits yang berbunyi: "Wa atbi'i al saiyyiaat al hasanaat tamhuhaa wa khaaliqinnas bi khuluqin hasanin." Maksudnya, kita diperintahkan untuk mengiringi setiap perbuatan buruk dengan perbuatan yang terpuji, sehingga amal kebaikan tersebut akan menghapus amal buruk yang pernah dilakukan. Hadits tersebut juga manganjurkan agar bersosialisasi dengan budi pekerti yang baik.

Terkait dengan budi pekerti yang baik, seorang tasawuf terkemuka, Junaid al-Bagdadi pernah memberikan nasihat kepada muridnya, "Jika kamu bertemu orang fakir, janganlah dimulai dengan memperbincangkan ilmu pengetahuan, tetapi mulailah dengan sikapmu yang lemah lembut. Karena ilmu itu membuat mereka liar, sedangkan sikapmu yang lemah lembut membuat mereka jinak." Oleh karena itu, kelembutan budi pekerti adalah kunci dalam pergaulan di masyarakat.

Banyak sekali langkah yang dapat ditempuh dalam rangka introspeksi diri, diantaranya: Pertama, melakukan evaluasi diri terhadap amal ketaatan yang dilalaikan atau perbuatan yang tidak dilakukan dengan semestinya. Kedua, melakukan evaluasi diri dalam setiap perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan. Apakah perbuatan tersebut lebih cenderung kerahah manfaat atau mudharat. Dan yang terakhir adalah melakukan introspeksi diri dalam perkara yang mubah (boleh) atau yang biasa dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dilakukan mengharap ridha Allah ataukah melakukannya karena ingin mendapatkan gemerlapnya dunia. Dengan introspeksi sebelum dan sesudah melakukan perbuatan, Insya Allah akan menambah rasa syukur dalam setiap nikmat yang telah diberikan. 

(M. Khotib At-Tamamy adalah staf kajian Tafsir-Hadist Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang)

Sumber: Buletin Keluarga Sakinah DPU Daarut Tauhiid edisi 294 
 
Top