GuidePedia

0
Mengumpulkan dan menjual kulit hewan kurban untuk kepenting an madrasah dan mushala biasanya kerap dilakukan panitia kurban. Secara sengaja, kulit hewan kurban tak dibagikan kepada mustahik (orang yang berhak atas kulit tersebut), namun dikelola panitia kurban untuk dijual dan uangnya digunakan bagi kepentingan umat.

Kebiasaan itu pun sering mengundang pertanyaan, bolehkah hal itu dilakukan? Terkait masalah ini, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984 telah menetapkan fatwa terkait boleh tidaknya mengumpulkan dan menjual kulit hewan untuk kepentingan sarana ibadah dan madrasah.

Masalah itu telah disampaikan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa’id, “Bahwa Qatadah Ibnu Nu’man memberitakan bahwa Nabi SAW berdiri seraya bersabda, ‘Dulu saya memerintahkan kepada kamu sekalian agar kamu tidak makan daging kurban lebih dari tiga hari, untuk memberi kelonggaran kepadamu’.”

“Dan sekarang saya membolehkan kepada kamu sekalian, maka makanlah sekehendakmu; jangan kalian jual daging dam dan daging kurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta gunakanlah kulitnya dan jangan kalian menjualnya. Sekalipun sebagian daging itu kamu berikan untuk dimakan orang lain, namun makanlah apa yang kalian sukai.” [HR Ahmad].

Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam fatwanya menyatakan, para ulama telah bersepakat bahwa menjual daging kurban dilarang. Sedangkan, menurut ulama Muhammadiyah, penjualan kulitnya, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat.

“Jumhur (sebagian besar) ulama berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan kurban (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, halaman 438),” demikian bunyi fatwa itu. Sedangkan, ungkap para ulama Muhammadiyah, menurut Imam Abu Hanifah boleh menjual kulit hewan kurban kemudian hasil penjualannya disedekahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat untuk keperluan rumah tangga (As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, halaman 278).

Sementara itu, kata ulama Muhammadiyah, para ulama dari Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa boleh saja menjual kulit hewan kurban, asal hasil penjualannya dipergunakan untuk kepentingan kurban (Asy-Syaukaniy, Nailul Authar, Juz V, halaman 206).

“Kami sepakat tidak boleh menjual daging kurban, karena memang tujuan disyariatkan penyembelihan hewan kurban, antara lain, untuk dimakan dagingnya, terutama untuk disedekahkan kepada fakir miskin,” demikian bunyi fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Namun, bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap pengumpulan dan penjualan kulit hewan kurban? “Demikian pula terhadap penjualan kulitnya, pada dasarnya kami sepakat untuk tidak dijual sepanjang dengan membagikan kulit itu dapat mewujudkan kemaslahatan,” tutur ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.

Meski begitu, kata ulama Muhammadiyah, dengan menyedekahkan kulit hewan kurban apalagi dengan membagi-bagikannya, kadang-kadang menimbulkan kesulitan untuk memanfaatkannya, bahkan bisa-bisa kulit hewan kurban itu tidak termanfaatkan, yang berarti justru memubazirkan harta, dan itu dilarang oleh agama.

“Memang ada kemungkinan kulit hewan kurban itu ditukar dengan daging kepada para pedagang daging. Jika hal ini mungkin dapat dilakukan adalah merupakan pilihan yang paling baik, kemudian daging tersebut disedekahkan,” ungkap fatwa itu.

Namun, tak menutup kemungkinan pada hari raya Idul Adha atau pada hari Tasyrik, para pedagang daging tidak berjualan. “Dalam keadaan seperti ini, kami cenderung boleh menjual kulit hewan kurban, kemudian hasil penjualannya itu yang disedekahkan. Kecenderungan ini didasarkan pada prinsip raf’ul-haraj (menghilangkan kesulitan),” demikian fatwa ulama Muhammadiyah.

Hal itu didasarkan pada hadis Nabi SAW, “Mudahkanlah dan janganlah mempersukar.” (HR Bukhari). Para ulama Muhammadiyah memutuskan, hasil penjualan kulit hewan kurban pun dapat digunakan untuk kepentingan umat, namun hal seperti ini dapat dilakukan setelah hak-hak fakir-miskin telah terpenuhi.
Berbeda dengan Muhammadiyah, ulama NU dengan tegas menyatakan, menjual kulit hewan kurban tidak boleh dilakukan, kecuali oleh mustahiknya yang fakir miskin. Sedangkan bagi mustahik yang kaya, menurut pendapat yang mu’tamad tak boleh. Ulama NU menyandarkan keputusan itu dari kitab Al-Mauhibah, jilid IV, halaman 697. “Tak boleh menjual bagian apa pun dari binatang kurban sunah, walaupun hanya kulitnya, sesuai hadis: ‘Barang siapa yang menjual kulit binatang kurban, maka ia tak memperoleh kurban apa pun’.”
(HR Bukhari).

Redaktur: irf
Reporter: Heri Ruslan
STMIK AMIKOM
sumber : www.republika.co.id

Posting Komentar

 
Top